Cerpen: Kisah Tragis Budak Perantauan - rizkimegasaputra.com
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Kisah Tragis Budak Perantauan

 


Kisah Tragis Budak Perantauan

Oleh: Meli Tri Astuti

Jauh dari  sebuah keluarga itu  hal yang menyedihkan. Hidup di kota baru, dengan orang baru yang banyak drama. Kehidupan kota yang serba mewah dan mahal. Etika orang kota yang kurang baik. Perbedaan keyakinan yang membuat harus bertoleransi antar sesama.


Itulah yang dirasakan Syailendra seorang mahasiswa jurusan Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Syailendra berasal dari desa Dadapayam Kabupaten Semarang. Dia berasal dari keluarga yang sederhana, namun memiliki mimpi yang luar biasa. Syailendra memiliki seorang adik bernama Rindi yang sedang duduk di bangku SD. Karena Syailendra anak pertama dia harus bisa sukses dan menjadi contoh untuk adiknya.


Syailendra berkuliah di Jakarta karena keinginannya sejak dulu. Syailendra merantau dari desa Dadapayam ke Jakarta sanggatlah tidak mudah. Awal mula dia ingin merantau karena saudara sepupunya yang berkuliah di sana dan bisa sukses. Maka dari itu, Syailendra ingin seperti saudaranya sukses di kota.


Syailendra berangkat ke Jakarta bersama saudara sepupunya. Sebelum berangkat Syailendra  berpamitan sambil memeluk Ibu, Ayah  dan adiknya. Terasa begitu menyedihkan, baru pertama ini Syailendra akan berpisah dengan keluarganya. Begitu pun ayah Syailendra, begitu sedih ketika harus berpisah. Tangis kesedihan yang dirasakan Syailendra begitu dalam. Namun, akhirnya keluarga Syailendra merelakannya untuk merantau,  menuntut  ilmu.


Satu hari kemudian, Syailendra dan sepupunya sampai di kota Jakarta. Syailendra diantar ke kos-kosan oleh saudara sepupunya. Kemudian mereka berpisah, walaupun tinggal di kota yang sama. Karena saudara sepupunya Syailendra harus bekerja di pengadilan.


Tak terasa sudah 1 bulan Syailendra di Jakarta menjalankan aktivitas perkuliahan. Syailendra merasa dirinya sekarang hidup mandiri yang sesungguhnya. Dari mulai makan, memasak, mencuci baju bahkan membeli kebutuhan. Syailendra berpikir,


“Ternyata kehidupan di kota jauh berbeda seperti waktu di desa.” Ucap Syailendra dalam hati.


Tetapi memang benar, kehidupannya jauh berbeda dari ekspektasi yang dipikirkan. Kini Syailendra harus hidup mandiri dan bisa mengatur keuangan sendiri. Karena mahalnya kehidupan di kota, apalagi kota Jakarta bisa tiga kali lipat Syailendra hidup di desa.  


Satu bulan hidup di perkotaan terasa begitu senang dan sedih tak disangka. Apalagi harus mengeluarkan uang setiap harinya. Dari mulai kebutuhan belajar, kuliah, kebutuhan mandi, sehari hari bahkan sampai kebutuhan makan. Jika ditotal bisa sampai lima puluh ribu per hari.  Sungguh itu di luar ekspektasi Syailendra, yang dulunya di desa lima puluh ribu bisa untuk satu minggu tetapi kini satu hari, itu pun terkadang masih kurang.


Ketika sore hari, Syailendra termenung di dalam kamar. Dia memikirkan uangnya yang menipis. Tak lama kemudian datanglah temannya yaitu Rendra.


“Hai Lendra, kenapa kamu kelihatannya sedih sekali?” tanya Rendra pada Syailendra dengan sedikit mengejek.


“Hmmn…. kamu jangan mengejekku lah, aku sedang merenungkan nasibku di perantauan.” jawabnya dengan raut wajah sedih.


“Memang kenapa kawan? Apa yang kamu renungkan di kota besar ini?” tanya Rendra penasaran.


“Kau tahu Ren, ternyata hidup di kota, semua serba mahal.”


Rendra pun mencoba menjawab dan menenangkan Syailendra yang terluhat sedih sekali.


“Iyalah  betul  sekali itu Lendra, di kota itu memang semua mahal beda kalau hidup di desa, kita harus bisa mengatur keuangan kita dengan baik.” Kata Rendra pada Syailendra.


“Iya nih, baru sebulan saja aku sudah menghabiskan satu juta, padahal dulu di desa 1 juta bisa sampai 3 bulan.” kata Syailendra sambil tangannya memegangi kepala, seperti kebingungan.


“Nasib nasib”. Ucap Syailendra lagi.


“Hmm begini saja, kalau kamu ingin menghemat uang dan menambah uang sakumu, kamu bisa kuliah sambil kerja.” Kata Rendra memberi saran.


Syailendra menjawab dengan terkejut.


“Astaga Ren, bagaimana caranya itu. Kerja kan dimulai pagi sampai sore, sedangkan aku kan kuliah.” Jawab Syailendra dengan kebingungan.


Kemudian Rendra menjawab dengan santainya.


“Bisalah Lendra, kamu bisa mengambil kerja part time. Dimana kamu akan kerja setelah kuliah, menyesuaikan jadwal kuliahmu.”


“Haaahhh, begitu  kerjanya berarti setelah kuliah aku kerja, begitu ya Ren?”


“Iya Lendra kamu mau tidak, kebetulan di dekat kos sini ada lowongan pekerjaan part time. Cocok buat kamu Lendra.” Kata Rendra pada Lendra dengan wajah senyum.


“Wah kalau begitu boleh juga itu.” Jawab Syailendra dengan perasaan terharu.


Keesokan harinya, Syailendra mendatangi tempat kerja yang diberi tahu temannya. Syailendra masuk ke dalam toko tersebut untuk melakukan wawancara. Tak lama menunggu, Bos dari toko itu memanggil Syailendra dan mengatakan bahwa dia diterima kerja part time.  Syailendra pun merasa senang dan bersyukur karena bisa bekerja untuk mencukupi biaya kuliah dan hidup di kota.


Setiap selesai kuliah, Syailendra bergegas pergi ke tempat kerjanya. Walau dirasa lelah, lemah, letih dan lesu, namun Syailendra tetap ikhlas menjalaninya dengan senang hati. Tak lupa juga sambil menunggu pembeli datang, Syailendra menyempatkan membaca dan mengerjakan tugas kuliahnya.  Hingga pukul tujuh tiba, Syailendra bergegas pulang untuk beristirahat.


Hari demi hari Syailendra lalui kehidupan di kota. Karena Syailendra ingin menabung maka dia harus menghemat uang setiap harinya. Syailendra hanya membeli kebutuhan kuliah dan makan saja. Pernah suatu hari dan terkadang Syailendra makan hanya dengan nasi dan telur rebus. Walaupun begitu, Syailendra tetap merasa bersyukur, karena diluar sana masih ada orang yang tidak bisa makan. Bahkan sampai harus mengimis di tepi-tepi jalan.


Pernah di suatu hari teman Syailendra meminjam uang kepadanya. Karena Syailendra merasa tidak tega akhirnya meminjamkan uangnya. Namun, hingga saat ini belum juga dikembalikan. Padahal Syailendra sedang membutuhkannya.


Hal yang paling mengerikan adalah ketika Syailendra pernah kehilangan barang berharganya, yaitu gawai. Syailendra sudah kebingunan mencari ke sana ke sini. Ternyata gawai tersebut dicuri oleh teman kosnya sendiri. Gawai tersebut dijual ke sebuah konter gawai karena pemilik konter mengeahui gawai yang dijual si pencuri dia langsung mengembalikannya kepada Syailendra.


Waktu berlalu begitu saja, Syailendra merasa rindu akan suasana di desa, dimana tidak ada polusi, tidak panas dan tidak terdengar suara kendaraan. Di desa itu menyenangkan dan menyejukkan. Walaupun tidak seperti  di kota.  


Namun, kini Syailendra harus bisa bersyukur atas pilihan Syailendra merantau ke kota. Karena Syailendra tidak hanya merantau mencari suasana baru, namun juga tujuan utamanya Syailendra yaitu kuliah untuk mewujudkan mimpinya dan menaikkan derajat orang tua. Apalagi Syailendra berkuliah di Universitas terbesar yang mana tidak semua mahasiswa bisa berkuliah di situ. Apalagi biaya yang mahal, banyak saingannya.  


Namun demi orang tua, Syailendra tetap berjuang hidupnya di perantauan, dan demi cita-citanya dia rela hidup mandiri dengan berkuliah sambil bekerja. Itu semua Syailendra lakukan dengan ikhlas. Setiap kali selesai sholat Syailendra selalu berdoa pada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan kemudahan dan kesabaran dalam menjalani kehidupan. Tidak lupa pula Syailendra melakukan sholat sunah yaitu sholat tahajud dan sholat dhuha karena banyak sekali manfaatnya, seperti bisa sukses  dengan jalur langit.


Dua tahun sudah Syailendra melalui kehidupan di perantauan. Kini sudah memasuki semester lima, yang artinya dia harus mengikuti KKL (Kuliah Kerja Lapangan) yang dimana pasti membutuhkan biaya yang sangat banyak. Walaupun Syailendra kuliah disambi kerja, namun belum mencukupi untuk membayar semuanya. Mau tidak mau Syailendra harus meminta kepada orang tua nya.


Di Malam hari Syailendra menelepon orang tuanya, dia menelepon bukan hanya untuk meminta uang, tetapi juga karena rindu.


“Kringg.., kringgg.,..”  bunyi telepon berdering di tengah sunyinya malam.


Tak menunggu lama, kemudian  Ibu Syalendra mengangkat telepon dari anaknya. Setelah mereka berbincang-bincang mengenai kerinduannya, Syailendra menceritakan keluh kesahnya. Ibu dan Ayah Syailendra merasa sedih. Namun, Ayah Syailendra memberikan semangat dengan menasehati bahwa itu semua ujian dari Allah bagi orang yang merantau. Apalagi merantau  untuk menuntut ilmu, pasti Tuhan akan memberikan kemudahan.


lbunya Syailendra juga berpesan untuk selalu berdoa pada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua orang tua Syailendra pun juga akan berusaha membayar biaya kuliah anaknya. Karena baginya kesuksesan dan masa depan yang cerah lebih penting.


Walau sebenarnya orng tua Syalendra juga kebinguan karena adik Syailendra juga akan memasuki SMP. Entah bagaimana cara yang dilakukan kedua orang tua Syailendra. Entah bekerja, menjual tanah atau mencuri.


Sumber: http://gg.gg/cerpenbudakperantau

Posting Komentar untuk "Cerpen: Kisah Tragis Budak Perantauan"