Cinta Sejati Yurike Kepada Bung Karno
Menjadi
istri Bung Karno merupakan suratan nasib dan kehendak Tuhan. Begitulah
Yurike mengawali kisahnya. Ia mengaku, hal itu sama sekali bukan
kemauannya sejak awal, juga bukan jenis impian murid SMA yang pada waktu
itu masih senang bermain karet gelang.
Lagi
pula, sejak awal mengenal Bung Karno, Yurike yang bukan siapa-siapa itu
merasa sangat tidak pantas menerjemahkan isyarat yang ditampakkan Bung
Karno sejak awal sebagai rasa cinta seorang lelaki kepada seorang
perempuan.
Perjalanan
nasib pula yang membuat Yurike harus melupakan impiannya menjadi
pramugari. Berawal dari kedatangan seorang bintang film bernama Dahlia
ke sekolahnya pada awal 1963. Rupanya, sang bintang film itu sudah lama
mengamati dan mengincar Yurike untuk dijadikan anggota Barisan Bhinneka
Tunggal Ika, sebuah kelompok remaja berjumlah 50 pasang yang tampil
mengenakan pakaian adat Indonesia pada acara-acara kepresidenan.
Babak
baru dalam kehidupannya makin jelas terasa setelah benar-benar masuk
dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu. Setelah mendapat bimbingan dan
pengarahan secukupnya, ia pun resmi menjadi anggota. Pertama kali terjun
dalam kelompok itu pada sebuah acara kepresidenan yang digelar di
Istora (Istana Olahraga) Bung Karno.
"Aku yang merupakan anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika termuda tampil dengan kebaya Jawa," tulis dia mengenang peristiwa itu.
Kejutan
berikutnya berlangsung ketika pertama kali tampil itu. Yurike mengaku
sangat canggung karena ini merupakan pengalaman baru. Keringat dingin
terasa mengalir di tengkuknya pada saat Bung Karno justru berhenti tepat
di hadapannya ketika melewati Barisan Bhinneka Tunggal Ika.
Tanpa
diduga, sang presiden malah menyapa dan menyempatkan diri berdialog
singkat dengannya."Bermimpikah aku? Bung Karno memperhatikanku lebih
dari sekilas.
Barangkali
karena tahu aku pendatang baru dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika,
(Bung Karno) lalu bertanya, 'Siapa namamu?'." Yurike menjawab semua
pertanyaan singkat presiden dengan perasaan campur aduk: bingung, malu,
dan bangga. Apalagi, Bung Karno sempat terkecoh oleh posturnya yang
bongsor, sehingga menyangka Yurike yang masih duduk di bangku SMP itu
seorang mahasiswi.
Dalam
perkenalan singkat itu juga, sebelum berlalu, Bung Karno mengatakan
kepadanya sebaiknya tidak memakai nama dengan akhiran "ke" atau "ce".
"Pakai Yuri saja. Nama dengan embel-embel 'ke' atau 'ce' itu
kebarat-baratan, tidak sesuai dengan kepribadian nasional kita."
Yurike
pun hanya mengangguk mengiyakan.Yurike tidak bisa menyembunyikan rasa
kagumnya sejak tatapan pertama dengan Bung Karno itu. "Matanya yang
jernih dan terang itu sepertinya hinggap ke pusat mataku dan sampai
kapan pun tak bisa kulukiskan dengan jelas.
Bicaranya
mantap, wajahnya tampan, dan makin tampak gagah dengan jas cokelat tua
yang dipenuhi atribut resmi di kedua pundak dan dada kirinya. Secara
kebetulan pula, warna cokelat tua memang warna favoritku," tulis dia.
Seiring
dengan keterlibatannya yang makin intens dalam kegiatan Barisan
Bhinneka Tunggal Ika, makin sering pula ia bertemu dengan Bung Karno.
Yurike mengungkapkan beragam perhatian khusus yang diberikan Bung Besar
itu kepada dirinya.
Bermula
dari sekadar menyuruh duduk di dekatnya ketika ada acara resmi di
istana, juga dengan mengambilkan kue tradisional dari meja.Untuk itu,
Yurike menulis kenangannya. "Perhatian Presiden Soekarno kepadaku memang
terasa agak khusus.
Di
antara puluhan gadis yang tergabung dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika,
menurut pengamatanku, jarang sekali yang menerima perlakuan demikian.
Aku tidak pernah berpikir bahwa hal itu akan berlanjut menjadi hubungan
yang lebih serius."
Diantar Pulang Bung Karno
Suatu
ketika di Istana Bogor, setelah acara resmi usai, Yurike bersantai
seperti biasa ia lakukan: mengobrol dengan para pengawal. Tiba-tiba Bung
Karno berteriak-teriak memanggil namanya.
Pada
saat itu, Presiden Soekarno sedang menikmati makan malam satu meja
dengan tamu-tamunya. Ia diminta duduk di sebuah kursi yang tampak
sengaja dikosongkan persis di sebelah RI-1 itu.
Pada
saat yang lain, ia didatangi kepala pool kendaraan istana yang
menyampaikan perintah Bung Karno kepadanya. Yurike disuruh memakai salah
satu mobil istana untuk antar-jemput setiap kali mengikuti agenda
Barisan Bhinneka Tunggal Ika.
Yurike tampaknya ingat betul momen itu.
"Tawaran
menggunakan mobil istana tersebut disampaikan beberapa hari menjelang
peristiwa fenomenal dalam dunia olahraga: Games of the New Emerging
Forces (Ganefo) I yang upacara pembukaannya dilakukan pada 1 November 1963 di Stadion Utama Gelora Bung Karno," tulis dia.
Malah
peristiwa berikutnya pada masa itu makin di luar dugaan Yurike.
Keistimewaan yang didapatkannya terus diikuti dengan keistimewaan lain
yang lebih besar. Pada saat pembukaan Ganefo itu, petugas protokol
meminta Yurike menjadi penjemput presiden ketika turun dari mobil
kepresidenan.
Ini
jelas menyimpang dari kebiasaan acara protokoler yang umum
disaksikannya pada masa itu.Di lain pihak, peristiwa itu memberi bekas
sangat dalam pada dirinya. "Dan, mata kami bertemu. Kurasa, hati kami
juga bertemu. Kutangkap kemilau yang seolah menyimpan magnet tersebut.
Sementara,
tanpa sadar, aku melempar senyum lewat mataku. Biarpun hal itu cuma
hadir selintasan, peristiwa yang amat menggetarkan itu lama sekali
berlabuh teduh di lembah kenangan."Isyarat perhatian khusus dan mendalam
Bung Karno kian kentara pada masa-masa selanjutnya.
Sampai
suatu ketika, di tengah acara ramah-tamah presiden dengan pengurus
Front Nasional di Istana Merdeka, ajudan Bung Karno meminta dia tidak
pulang dulu usai acara. "Soalnya, Bapak yang mau mengantarkan pulang,"
katanya.
Percaya
atau tidak percaya, ternyata begitulah adanya. Yurike duduk
bersebelahan dengan Bung Karno di jok belakang sedan Lincoln itu.
Perasaan kikuk menyelimuti dirinya selama perjalanan pulang. "Jok besar
itu lebar sekali. Kurasa, untuk empat orang pun masih lega.
Terbelenggu oleh sikap segan yang demikian besar, juga rasa malu yang sungguh tak teratasi, dudukku seolah menyatu dengan pintu.
"Penampilan
Bung Karno pada saat mengantarkannya pulang malam hari sekitar pukul 11
itu pun tidak biasa. Bercelana biru tua, kemeja lengan pendek biru
muda, bersandal kulit hitam, dan tanpa peci. "Kepala yang biasa berpeci
itu agak mengubah sedikit raut wajahnya.
Dahinya
tampak lebar sekali dan seolah menyambung dengan bagian tengah
kepalanya yang botak."Tanpa sungkan-sungkan pula, Yurike menuturkan
bahwa penampilan yang lain dari biasanya itu sempat membuat ayah-ibunya
terkecoh.
Mereka
menyangka, yang datang mengantar hanyalah kepala rumah tangga istana.
Malah ayahnya sempat bersikap sinis dan agak kurang sopan ketika
menyambut sang pengantar. Setelah tahu yang datang Bung Karno, suasana
pun berubah sama sekali.
Bung Karno Menyatakan Cinta
Pada
hari-hari berikutnya, seperti bisa ditebak, hubungannya dengan Bung
Karno makin dekat. Sang presiden, dalam sebuah perjalanan diam-diam
keliling kota pada malam hari, meminta Yurike memanggilnya "Mas", bukan
"Pak".
Kembali beragam perasaan berkecamuk dalam dirinya. Apalagi, dia sendiri punya pacar: Wisnu namanya.
"Sudah
terbalikkah bumi ini? Sudah sedemikian kacaukah pendengaranku? Sudah
tak berlakukah norma atau etika kepantasan yang menempatkan sikap hormat
sebagai keharusan? Mustahil presiden yang usianya di atas ayahku minta
dipanggil 'Mas' oleh seorang gadis SMA.
Bagaimanapun
beraninya aku, lidahku pasti mendadak beku sebelum sepotong kata itu
keluar dari tenggorokan."Perjalanan diam-diam keliling kota yang
diistilahkan Bung Karno sebagai perjalanan incognito itu semakin sering
dilakukan.
Hingga
suatu malam, sebuah kejutan lain yang lebih besar dialami Yurike ketika
diajak ke tepi pantai. Dimulai dari pertanyaan Bung Karno soal suami
idaman Yurike, obrolan mereka makin menjurus ke soal pribadi.
Akhirnya Bung Karno berujar dengan wajah serius: "Apa Adik tidak tahu Mas mencintai Adik?""Sepertinya langit runtuh... Kepala semakin berpendar-pendar bagai kejatuhan benda yang berat sekali.
Mengingat
sikap-sikapnya, pernyataan demikian memang bisa muncul sewaktu-waktu.
Tetapi, tak urung, rasa kaget menerkamku," tulis Yurike mengungkapkan
perasaannya ketika itu.
Lalu
ia melanjutkan, "Tak pernah aku segemetar seperti saat itu. Raut wajah
Ibu, Ayah, saudara, guru-guru di sekolah, kerabat, famili, orang-orang
yang ada di sekitar Bung Karno, terakhir kekecewaan Wisnu, bergantian
menghiasi pelupuk mata. Semula samar-samar, lalu menjadi jelas.
Sejujurnya kuakui, rasa banggaku membukit.
Pada
detik-detik tersebut, aku merasa bukan anak gadis remaja, tapi
sepenuhnya menjadi seorang perempuan yang menerima pernyataan cinta
seorang lelaki."Dan saat itu pun tiba, ketika Bung Karno menyatakan
niatnya memperistri Yurike.
"Kurenungi
laut angan-angan sepuasnya. Pikiran terbang bebas sebebas-bebasnya,
jauh meninggalkan apa yang selama ini tampak menakutkan. Gerak kehidupan
baru menuju dunia kenyataan rasanya semakin dekat manakala Bung Karno,
berselang tidak lama, menyatakan niatnya memperistriku.
Bung
Karno ingin tahu jawabanku saat itu juga. Tetapi, bagaimana mungkin?
Masalah perkawinan tidak bisa kuputuskan sendiri. Aku minta waktu dengan
suara tersendat untuk membicarakannya dengan orangtuaku."
Peristiwa Menjelang Pernikahan
Pernyataan
Bung Karno soal keinginannya memperistri Yurike berulang di istana.
Kejadiannya berlangsung beberapa hari setelah upacara pemancangan tiang
pertama pembangunan Wisma Nusantara, Rabu 1 April 1964.
Setelah
acara yang diikutinya selesai, seorang ajudan memintanya menunggu di
teras belakang istana karena "Bapak" ingin memberi kenang-kenangan.
Ternyata
Presiden Soekarno menghadiahi Yurike sebuah kalung dari koleksinya yang
berjajar di sebuah ruangan di istana. Malah lelaki itu sendiri yang
memilihkannya untuk sang pujaan hati. Ini boleh saja dibaca sebagai
lamaran tidak resmi sang presiden.
Lamaran
resminya disampaikan Bung Karno kepada orangtua Yurike, beberapa waktu
kemudian. Bung Karno rupanya mengatur hal itu sejak awal, karena
beliaulah yang minta makan malam bersama dengan keluarga Yurike.
"Selesai
makan, tanpa disangka-sangka Bung Karno menyampaikan niatnya untuk
memperistriku. Persisnya: Bung Karno melamar! Kubaca keterkejutan yang
terpeta di wajah orangtuaku. Kurasakan luluh segenap sendi tulangku.
"Orangtua
Yurike jelas sangat terkejut. Ayahnya, tidak bisa lain, menyampaikan
rasa terima kasih karena anaknya mendapat tempat istimewa di hati Bung
Karno.
Dia
pun minta waktu untuk memberi jawaban. "Mohon kami diberi waktu untuk
berunding, terutama dengan Yurike sendiri. Sebagai orangtuanya, kami
tidak bisa membuat keputusan sepihak karena hal demikian akan kurang
baik bagi kehidupannya nanti," demikian sang ayah menanggapi lamaran
itu.
Yurike
sendiri pada saat itu pun seperti didera kebimbangan berkepanjangan.
"Aku hanyalah gadis yang baru dijemput ambang remaja. Di sekolah, aku
tidak lebih hanya seorang murid yang masih tidak ingin terlambat datang
untuk mengikuti jam pelajaran pertama, masih senang jajan es mambo pada
jam istirahat.
Lalu
tiba-tiba saja seorang lelaki melamarku, dan dia justru seorang
presiden yang selalu memiliki daya tarik luar biasa."Ujungnya, lamaran
Bung Karno itu diterima orangtua Yurike. Ini membawa suasana lain.
Sejak
Bung Karno tahu lamarannya diterima, napas kegembiraan sering terlontar
dari kerjap matanya. "Alhamdulillah," serunya pertama kali.
"Berkuranglah bebanku selama menunggu jawaban itu.
Semoga
Tuhan selalu memberkahi langkah kita dan memberi kebahagiaan terhadap
kita," ucap Bung Karno.Seiring dengan itu, perlakuan Bung Karno terhadap
Yurike otomatis makin istimewa pula.
Bung
Karno, misalnya, tidak lagi membahasakan dirinya dengan sebutan "saya",
tetapi "aku". Beliau juga tidak pernah luput meminta Yurike memanggil
dirinya dengan sebutan "Mas" setiap kali perempuan itu keceplosan
menyapa "Pak" atau "Bapak".
Dalam
kaitan ini, Yurike juga tak menyembunyikan sedikit pun rasa kagumnya
kepada Bung Karno. Ia menilai Bung Besar itu benar-benar seorang kekasih
yang arif. Dia tahu persis kapan harus langsung ke titik urusan dan
kapan diperlukan diplomasi agar tidak terkesan mendikte atau memaksakan
diri.
Selain
itu, "Bung Karno pandai menempatkan diriku pada tempat yang semestinya.
Bung Karno benar-benar berusaha dengan penuh kesabaran menjadikan aku
calon istrinya. Lambat laun, hal itu membawa perubahan amat berarti
bagiku.
Perasaan
kami jadi semakin tidak berjarak. Aku bisa cepat menyesuaikan diri
sehingga segala kekakuan yang merintangi sikapku cair dengan
sendirinya."Tapi, di balik hubungan yang makin dekat itu, Yurike harus
menelan pil pahit.
Suatu
ketika, Bung Karno meminta dia berhenti bersekolah. Dan itu sungguh
mengejutkan. Tapi, "Memang ini salahku sendiri. Aku mulai berani mengadu
kepadanya seputar bisik-bisik yang berkembang di sekolah yang
berkembang menjadi aneka komentar yang disampaikan secara
terang-terangan."Walhasil, keputusan yang diambil adalah keluar dari
sekolah.
Pada
waktu itu, Yurike masih duduk di kelas II SMA. Ayahnya datang ke
sekolah dan secara khusus bicara empat mata dengan kepala sekolah.
Alasan keluar tentulah karena Yurike akan menikah dengan Bung Karno.
Lelaki itu juga mewanti-wanti agar sang kepala sekolah merahasiakan hal
itu.
Yurike
sendiri mengungkapkan kegundahannya atas keputusan tersebut. "Sejak
itu, aku kehilangan napas duniaku yang amat kukenali selama
bertahun-tahun, bahkan sejak kelas I sekolah rakyat.
Di
satu sisi, aku bisa bebas sebebas-bebasnya dalam arti sudah tidak
terbebani kewajiban, tapi kenyataannya malah terbalik: aku justru
terpasung di tengah kebebasan atau terbelenggu di tengah pesona
kenikmatan yang diberikan orang lain."Yurike didera kesepian.
Apalagi
setelah frekuensi kegiatannya di Barisan Bhinneka Tunggal Ika makin
dikurangi. Ia merasa, Bung Karno secara tidak langsung mengatur hal ini.
"Kukatakan
secara tidak langsung karena Bung Karno tidak pernah menanyakan mengapa
aku tidak hadir di antara keanekaragaman pakaian daerah seperti
waktu-waktu sebelumnya.
"Hari
yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Yurike yang sudah jenuh dengan
hubungan lewat perjalanan incognito malam-malam hari ke pantai di
kawasan Tanjung Priok itu makin mendapat kepastian.
Pada
Kamis 6 Agustus 1964, yang disebutnya hari termanis itu, Bung Karno
resmi menikahinya secara Islam.Ia pun mencatat saat-saat paling istimewa
sepanjang hidupnya tersebut. "Sikapku serba-gugup. Waktu terasa
merangkak lambat sekali. Detik demi detik, menit demi menit. Kucoba
sekuat mungkin mempertenang diri, tapi sia-sia. Kucoba alihkan pikiran
ke masalah lain, tapi percuma.
Masih
terbayang jelas kunjungan calon penghulu kami kemarin malam ke rumah.
Maksudnya tidak lain, untuk melatihku agar upacara benar-benar dapat
berlangsung khidmat dan lancar."Tepat pukul 10.00, Bung Karno hadir
dengan pengawalan yang jauh dari ketat.
Tidak
terkesan sama sekali bahwa beliau adalah presiden yang bergelar
Panglima Tertinggi ABRI sekaligus Pemimpin Besar Revolusi. Pakaiannya
sederhana sekali. Kemeja biru muda lengan pendek, celana biru tua,
sepatu hitam, dan peci hitam ciri khasnya dirasakan Yurike benar-benar
mempercerah penampilan lelaki itu.
"Acara yang paling penting dalam sejarah hidupku dimulai," tulis dia.
Duka Istri Presiden
Ternyata
menjadi istri orang nomor satu di suatu negeri tidak selamanya enak.
Kesepian yang menerpa dirinya bukannya berkurang. Makin lama, makin
terasa menyesakkan. "Hari demi hari bergulir sesuai dengan kehendak sang
waktu.
Kadang
kurasakan hari merangkak lambat manakala kami tidak saling bertemu.
Kadangkala bagai sekejap manakala napas kerinduan harus runtuh oleh arus
perpisahan yang menerjang," tulis dia meluapkan perasaan itu.
Selama
beberapa waktu, Yurike masih tinggal bersama orangtuanya sampai Bung
Karno memberinya sebuah rumah di kawasan Cipinang Cempedak, Jakarta
Timur.
Rumah
itu diakui Bung Karno sebagai rumah sitaan kejaksaan milik seorang
manipulator yang jadi buronan. Kesepian ternyata kian meradang berada di
rumah besar itu. Apalagi, ia tidak bisa bebas keluar-masuk halaman yang
dikelilingi pagar tertutup cukup tinggi.
Untuk
mengusir rasa sepi, Yurike mengaku kerap melampiaskannya dengan
berbagai cara. Salah satunya, menghabiskan waktu bergurau dengan para
pengawal. "Dasar masih remaja, aku mengajak para pengawal bermain
perang-perangan.
Aku
dan salah seorang adikku berada dalam satu kelompok, mereka dalam
kelompok pihak lawan. Mereka dengan sabar mengikuti kemauanku."
Terkadang, ia juga menghabiskan waktu dengan ikut main gaple bersama
para pengawal.
Tapi hal yang
paling mengagetkan dirasakannya adalah pada saat-saat Bung Karno
terbakar api cemburu. Ini dialami Yurike ketika menjalani perawatan
selama tiga pekan di Rumah Sakit Husada karena mengalami hamil di luar
kandungan.
Ia
harus menjalani operasi untuk mengangkat janin itu. Ketika masuk rumah
sakit hingga beberapa lama dirawat, kebetulan Bung Karno sedang
bermuhibah ke luar negeri.
Ceritanya,
selama dirawat, ada seorang dokter yang memberi perhatian khusus dan
istimewa kepada Yurike. Dokter muda itu kerap menjenguknya sembari
membawa buah atau yang lain.
Terakhir,
dokter muda bernama Arifin itu membawakan televisi dan majalah asing
agar Yurike dapat mengusir rasa jemunya. Majalah asing itu juga cukup
kontroversial: melaporkan pertemuan mesra Bung Karno dengan bintang
seksi asal Italia, Gina Lolobrigida.
Begitu
Bung Karno tahu, ia tampak sangat murka. Lucunya lagi, ulah si dokter
itu dihubung-hubungkan dengan antek neokolonialisme (nekolim). Dengan
suara lantang menggeledek, dia memerintahkan pengawalnya membuang semua
itu.
Bahkan,
sebagai buntut kecemburuannya, Bung Karno konon menyuruh tim khusus
memanggil dokter itu ke istana dan memeriksanya."Kesimpulan yang
kudengar, sejauh tentang statusku sebagai istri Bung Karno, dia sama
sekali tidak mengetahuinya.
Dia
juga tidak terbukti ditunggangi nekolim --sebagaimana kecurigaan Bung
Karno. Alhasil, tidak ada alasan untuk menahannya. Kendati demikian,
tugasnya secara mendadak dipindahkan ke rumah sakit lain, hari itu
juga."
Saat-saat
TerakhirLangit tidak selamanya cerah. Ada saat-saat gumpalan awan hitam
bergulung-gulung, bahkan tanpa celah sinar barang sejengkal. Keadaan
bersih juga tak selamanya tergambar di langit karena tiba-tiba bisa
keruh, menakutkan, kadangkala diwarnai suara petir yang menggelegar
seolah sanggup merobek bumi. Demikian pula cerminan kehidupan Bung
Karno.
Suatu hari, Bung
Karno datang tanpa memberi kabar lebih dulu. Pada saat itu, Yurike
mestinya merasa senang dan menerima sang suami dengan hati
berbunga-bunga. Tapi tidak pada hari itu. Kehadiran tersebut merupakan
sebuah kabar buruk.
Dia
datang naik jip yang dikawal beberapa anggota polisi militer. Wajahnya
datar, jauh dari ungkapan kegembiraan.Itulah yang terjadi beberapa waktu
setelah Soeharto dilantik menjadi penjabat presiden, persis pada 12
Maret 1967. Negara membutuhkan istana karena penjabat presiden akan
melaksanakan tugas kenegaraannya dari tempat itu.
Tidak
ada jalan lain, Bung Karno harus angkat kaki dari istana yang telah
dihuninya selama bertahun-tahun.Meredupnya kekuasaan Bung Karno ikut
mempengaruhi kehidupan yang dijalani Yurike. Tahun 1968 menjadi tahun
yang dianggapnya paling memprihatinkan. Kondisi keuangannya kian tidak
menentu.
Tambahan
lagi, kini tidak ada lagi aliran dana kerumahtanggaan presiden untuk
menggaji para pembantu yang jumlah totalnya ada 20-an orang.Efek yang
lebih menyesakkan, sudahlah Bung Karno hidup dalam isolasi di Wisma Yaso, Jakarta Selatan, Yurike pun harus angkat kaki dari rumah di Cipinang Cempedak.
Berkali-kali pihak kejaksaan meminta dia mengosongkan bekas rumah pengusaha buronan bernama King Gwan
itu, berkali-kali pula ia menolak. Ia baru angkat kaki setelah menerima
pesan singkat Bung Karno yang ditulis di atas kertas bungkus rokok.
"Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu, toh bukan milik kita.
"Yang
lebih menyesakkan, Bung Karno bahkan menyarankan agar Yurike mengajukan
permintaan cerai. Ini mengguratkan suasana haru yang menyelimutinya
pada saat itu.
"Aku sedih. Betul-betul sedih. Tidak kubayangkan perkataan itu keluar dari bibir Bung Karno," katanya.
Menurut
Bung Karno, situasi politik dalam negeri dan kondisi kesehatannya yang
memburuk bisa berefek kurang baik bagi kehidupan Yurike selanjutnya
secara lahir-batin. Awalnya ia menolak, dengan menegaskan hanya ingin
hidup selamanya dengan Bung Karno. "Saya tidak minta apa-apa lagi.
Mata
Bung Karno berkaca-kaca. Hatiku pun menangis sejadinya," tulis
dia.Akhirnya, Yurike memang bercerai dari Bung Karno secara baik-baik.
Peristiwa yang sungguh mengharukan karena mereka masih sama-sama saling
mencintai.
Sebuah
perpisahan yang justru terjadi ketika mereka tengah dekat dan sangat
rapat.Tapi, di atas segala kepedihan itu, yang paling menyesakkan
tentulah ketika ia mendengar kabar wafatnya "sang penyambung lidah
rakyat Indonesia" itu pada 21 Juni 1970.
Posting Komentar untuk "Cinta Sejati Yurike Kepada Bung Karno "
Terimakasih sudah mengunjungi blog Rizki Mega Saputra. Semoga bisa menambah wawasan Anda..