KISAH NYATA: ISTRI BOS KU JATUH CINTA PADAKU
Aku dibesarkan dalam keluarga
yang biasa-biasa saja. Biasa dalam segala hal; ya pendidikan, ya materi
ekonomi. Aku sebenarnya tidak berkecil hati, karena tetangga di
sekitarku juga begitu. Tamat SD ya syukur, tidak tamat juga syukuran.
Syukuran dalam arti pernah mengecap sekolah. Jadi kalau aku bisa sekolah
sampai SMP bagiku itu lebih dari bersyukur. Apalagi kemudian aku bisa
menyelesaikan hingga SMA.
Semua
itu berkat jasa baik Bapak Hadi (bukan nama sebenarnya). Beliau adalah
seorang pengusaha bibit buah-buahan. Pertemuan kami dimulai dari suatu
hari karena jalanan yang becek akibat hujan membuat roda mobilnya selip
dan tak bisa jalan. Aku satu-satunya orang yang lewat di jalan ke
kampungku. Aku mendorong mobil itu bersama sopirnya di tengah derasnya
hujan. Karena terkesan, aku diajaknya ikut dalam mobil itu yang
kebetulan menuju ke arah kampungku. Itulah awal pertemuanku dengan Pak
Hadi. Waktu itu aku baru saja tamat SD.
Beliau
menyewa sebidang tanah tempat pembibitan di kampungku. Yang mengurusnya
adalah ayahku, seperti juga orang-orang lain di kampungku, menjadi
buruh mengurus kebun atau sawah. Aku dimintanya untuk ikut mengurus,
menyiraminya setiap pagi dan sore, lalu memindahkannya sesuai umur bibit
dan tingginya. Lalu jika sudah dikemas dalam plastik-plastik kecil
dibawa ke kota dengan menggunakan truk, tempat penyimpanan bibit juga,
untuk dipasarkan. Pak Hadi menjual bibit tanaman tidak hanya
buah-buahan, tetapi juga bunga. Atas budi baik Pak Hadi aku meneruskan
sekolah ke SMP. Biayanya ditanggung Pak Hadi dengan syarat asal mau
bekerja sebelum dan sepulang sekolah. Demikianlah hingga aku SMA.
Aku
begitu menghormati Pak Hadi. Keuletannya dan kecerdasannya membuatnya
hampir selalu beruntung dalam bisnisnya. Ada juga ia ditipu orang, pesan
bibit banyak sekali tetapi uangnya tak bisa ditagih, kabur. Ia pantang
berputus asa, “Bukan rezeki kita,” demikian ia sering berkata. Lapak
bibit yang di kota dikelola oleh 2 orang pekerja, tempat dimana kemudian
aku tinggal sambil sekolah. Sebuah rumah panggung yang kecil, saung
untuk memasak dan kolam tempat menampung air untuk menyiram tanaman ada
di sana. Kelak, di rumah panggung itulah aku mengalami kejadian yang tak
bisa kulupakan.
Diawali
dari suatu hari, Bu Win (istri Pak Hadi) datang bersama putra
sulungnya, Neng Yan (bukan nama sebenarnya) yang memintaku mengambilkan
bibit bunga anggrek hutan untuk prakarya sekolah Neng Yan. Dari caraku
memotong dan mengemas bunga anggrek itu berkali-kali Bu Win memujiku
pintar dan cekatan. Bu Win dan Neng Yan memang biasa datang ke lapak
bibit, baik bersama Pak Hadi atau datang sendiri. Karena umurku ketika
itu sudah akil balig, dengan entengnya aku menggoda Neng Yan sebagai
lebih pintar dan cekatan mengurus bunga. “Biar cantik seperti Mamanya…”,
kataku menggoda.
Tak
dinyana. Omonganku yang sebenarnya ngawur itu ditanggapi lain oleh Bu
Win. Ia menatapku sejenak. Kulihat ada rona merah saga di wajahnya. Aku
merasa takjub melihatnya, sekaligus terbit penyesalanku karena telah
berkata lancang. Tetapi, bukan kemarahan yang kemudian timbul, justru
senyumanlah yang kemudian kudapatkan. Menurutku, itu adalah senyum
perempuan dewasa yang paling indah yang pernah kulihat. “ Kau
(disebutnya namaku) mulai nakal”, katanya hampir-hampir tak kedengaran.
Entahlah, apakah karena darah kelelakianku yang tersentuh atau karena
suasana yang sedemikian, aku merasa sangat senang sore itu.
Sampai-sampai aku seperti lupa belum makan dari pagi, membereskan
ini-itu, menyiram dan sebagainya.
“Hei,
Jungle Boy, sini makan dulu!” terdengar suara Neng Yan dari rumah
panggung. Jungle Boy itu adalah ejekannya karena pekerjaanku yang
mengurus kebun. Walau berkali kutolak untuk makan bersama karena aku
merasa harus tahu diri, akhirnya aku datangi juga. Nah, pada saat makan
itulah suasana jadi bertambah lain. Bu Win begitu memperhatikanku.
Malahan, kalau aku tak salah ingat, nasi buatku makan dia sendirilah
yang menyediakannya. Begitupun minumnya. Bagiku, itu diluar kebiasaan.
Biasanya makan dan minum bagi kami sebagai pekerja ya ditinggal begitu
saja.
“Ma,
Yan mau bikin rangkaian anggrek lagi ya, nggak enak kalau dapat bikinan
orang”, kata Neng Yan sambil pergi ke luar. Tinggalah aku dan Bu Win di
rumah panggung itu. Sungguh, aku belum pernah punya pengalaman apapun
dengan perempuan, juga dengan teman di sekolahku. Cinta monyet atau apa.
Bu Win juga tidak tepat disebut muda, walau juga belum pantas disebut
tua. Sore itu aku merasai sesuatu yang aneh. Berkali-kali kutangkap ia
sedang lekat memandangku. Kalau kebetulan pandanganku bersirobok, nyata
sekali ada rona merah di wajahnya.
“Berapa tahun umurmu?”, katanya mengalihkan perhatian.
“Bulan depan tujuh belas tahun,” kataku polos.
“Kau sudah punya pacar?”
“Belum, belum punya,” kataku tergagap.
Tak
ada lagi percakapan sesudah itu. Hanya saja aku merasa aneh. Kulihat Bu
Win di mataku menjadi sangat cantik dan menarik. Padahal biasanya,
jikapun bertemu, ya biasa saja. Malahan aku sangat menghormatinya. Ya,
karena ia adalah istri dari Pak Hadi, majikanku. Kejadian sore itu
sangat membekas bagiku. Dan ternyata, juga bagi Bu Win.
Besoknya,
Bu Win datang lagi. Saat itu hari Minggu. Dua pekerja yang lain sedang
pergi mengangkut bibit bersama Pak Hadi. Pengangkutan bibit dapat
memakan waktu seharian, bahkan kalau tempat tujuannya jauh bisa 2 hingga
3 hari. Sebenarnya hal begini juga sudah biasa, tetapi hari itu
benar-benar jadi tak biasa. Aku dan Bu Win seperti sepasang merpati di
taman yang sangat indah. Rumah panggung yang sepi dan jauh dari
keramaian menjadi saksi, betapa kami betul-betul seolah lupa pada
semuanya. Lupa pada pekerjaan, lupa siapa yang jadi majikan, lupa pada
jenjang umur yang berbeda. Tak ada yang memaksa, tak ada yang dipaksa.
Hari itu aku hilang keperjakaan.
Sesudah
segalanya terjadi, aku betul-betul merasa sangat berdosa. Malamnya aku
tak dapat tidur. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merutuk menyesali
semuanya. Kalau tidak ingat ada dua pekerja lain, ingin rasanya aku
menjerit-jerit sekuat tenaga. Mereka menganggap aku menangis karena
ingat pulang.
Namun
di hari yang lain kejadian yang sama kembali berulang. Bahkan tidak
jarang aku juga diajak ke rumahnya. Rumah Bu Win hampir selalu kosong
karena Pak Hadi sering ke luar kota. Kami selalu tahu kapan Pak Hadi
pergi. Aku tahu hal ini salah, tetapi aku tak tahu bagaimana cara
menghentikannya. Aku benar-benar ingin berhenti, aku sedih setiap kali
melihat Pak Hadi, Neng Yan ataupun para pekerja yang lain. Mereka
benar-benar tak tahu apa yang terjadi di belakang mereka.*
(seperti diceritakan oleh N di P)
Sumber: http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2012/12/27/istri-bosku-jatuh-cinta-padaku-cermin-kisah-nyata-520107.html
Posting Komentar untuk "KISAH NYATA: ISTRI BOS KU JATUH CINTA PADAKU"
Terimakasih sudah mengunjungi blog Rizki Mega Saputra. Semoga bisa menambah wawasan Anda..